29 December 2018

Kitab Bulughul Maram ‘'Al-Birru Wa Ashshilah’ (Kebaikan dan Silaturahim) Pembahasan 20 Muqaddimah (Bagian 02)


Dr. Firanda Andirja, M.A.
Kitab Bulughul Maram | Kitabul Jami’ 

Pembahasan 20  
Bab 02 :  Al-Birru Wa Ashshilah’ (Kebaikan dan Silaturahim)
Muqaddimah (Bagian 02)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,

Pada pertemuan yang lalu telah kita bahas bahwasanya rahīm (kerabat) yang wajib untuk kita silaturahmi bukan dari keluarga istri atau saudara sepersusuan, akan tetapi dari hubungan nasab (darah).

Apakah seluruh orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita wajib kita sambung silaturrahmi?

Maka dalam hal ini ada 3 pendapat dikalangan para ulama:

Pendapat Pertama.

Yang wajib untuk disambung silaturahmi adalah kerabat-kerabat yang memiliki hubungan mahram dengan kita, baik mahram dari sisi laki-laki maupun perempuan.

Contohnya :
Orangtua: ayah merupakan mahram bagi putrinya dan ibu merupakan mahram dari putranya.
Saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung, seayah dan seibu/seibu/seayah.
Kakek dan Nenek.
Cucu.
Al-a'mam (saudara-saudara laki-laki dari bapak).
Al-ammat (saudara-saudara perempuan dari bapak).
Akhwal (saudara-saudara laki-laki dari ibu.)
• Khalat (bibi-bibi, saudari-saudari perempuan dari ibu)
Dan ini yang disebut dengan Mahram.

Oleh karenanya kita perlu mengenal dan perlu pembahasan khusus tentang "Apa itu mahram?"

Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Hanafiyyah dan Malikiyyah dan mereka berdalil dengan suatu hadits :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta'ala 'anhu: Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

"Tidak boleh seseorang (tatkala berpoligami kemudian dia) menggabungkan antara seorang wanita dengan tantenya (saudari dari bapaknya) atau dia menikah sekaligus dengan bibi wanita tersebut (saudari dari ibunya)."

Hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam karena hal ini bisa memutuskan silaturahmi antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya.

Kita tahu, hubungan antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya adalah hubungan mahram.

Dari sini, mereka (para ulama) mengatakan, “Yang wajib disambung silaturahim adalah yang memiliki hubungan mahram”. Kelaziman dari pendapat ini adalah berarti, sepupu tidak wajib untuk kita sambung silaturrahim karena dia bukan mahram.

Ini pendapat yang agak kuat, karena bagaimana kita (laki-laki) menyambung silaturahmi/mengobrol dengan sepupu perempuan sementara dia bukan mahram.

 Pendapat Kedua.

Yang dimaksud rahim yang wajib kita sambung yaitu ahli waris (yaitu ahli warisnya kita). Ini pendapat sebagian fuqaha seperti pendapat:
- Al-Qadhi'iyyat dari madzhab Maliki
- An-Nawawi dari madzhab Syafi'iyyah

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam tatkala ditanya oleh seseorang:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ  " أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ "

"Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?" Maka jawaban Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam : "Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang paling dekat denganmu yang paling dekat denganmu."
(Hadits Riwayat Muslim nomor 4622, versi Fathul Bari nomor 2548)

Mereka (para ulama) memahami:
- Kalimat "ibu dan ayah" merupakan termasuk ahli waris kita.
- Kalimat "yang paling dekat engkau" adalah yang paling dekat dari sisi ahli waris.

Namun pendapat ini terbantahkan (kurang kuat) karena 2 sebab :

- Sebab Pertama:
Karena maksud nabi dengan "yang lebih dekat dengan engkau" tidak hanya difahami hanya ahli waris saja, akan tetapi secara umum, yaitu yang paling dekat kekerabatan/nasab dengan engkau.

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tidak menyebutkan "yang paling dekat" adalah ahli waris maka tidak boleh kita khususkan sesuatu yang umum.

- Sebab Kedua:
Pendapat ini melazimkan bahwasanya kita tidak perlu menyambung silaturahmi dengan bibi atau tante, terutama dengan bibi (saudara ibu) karena bibi bukan ahli waris kita.

Padahal dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan :
الخالة بمنزلة الأم

"Bibi saudari perempuan ibu adalah kedudukannya seperti ibu."
(HR Bukhari Muslim)

Maka wajib bagi kita untuk menyambung silaturahmi dan berbuat baik sebagaimana berbuat baik kepada ibu padahal bibi secara ahli waris bukan ahli waris.

Oleh karena itu, Pendapat yang ke-2 ini pendapat yang kurang kuat.

- Pendapat Ketiga.

Seluruh kerabat wajib kita sambung silaturahmi. Tergantung:
- Semakin dekat maka semakin wajib.
- Semakin jauh maka semakin kurang kewajibannya.
Tapi yang wajib disambung silaturahmi adalah seluruhnya.

Pendapat ini kurang kuat, kelaziman pendapat ini bahwasanya kita harus wajib berhubungan baik (silaturahmi) dengan seluruh manusia.

Karena kalau kita perhatikan nasab kita semua akan kembali kepada Nabi Adam, kita seluruhnya merupakan keturunan Nabi Adam dan ibunda kita (Hawa).

Kalau begitu caranya, maka seluruh nasab wajib kita berbuat baik, jadi kita harus berbuat baik kepada seluruh manusia.

Oleh karenanya, wallāhu a'lam bishshawāb, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama.

- Bahwasanya yang wajib bagi kita untuk menyambung silaturahmi adalah yang merupakan mahram kita dan yang selainnya hukumnya sunnah.

Dan kita berbicara tentang yang wajib, yang wajib adalah mahram-mahram kita yang harus kita hubungi, telpon, berikan kebaikan kepada mereka.

Adapun selain mereka adalah nomer 2 (sunnah) seperti; saudara sepersusuan, saudara istri, kerabat-kerabat yang jauh yang bukan mahram.

Allahu a'lam bishshwab, inilah khilaf diantara para ulama, agar kita tahu jelas, mana yang lebih utama kita sambung silaturahmi dan mana yang tingkatan kedua (kurang utama).

Jangan sampai kita mendahulukan yang kurang utama dan meninggalkan yang utama.

Diantara kesalahan yang sering ditanyakan kepada saya adalah: “Ustadz, apakah wajib bagi kita untuk berbuat baik kepada mertua sebagaimana berbuat baik kepada ibu kandung ?”

Jawabannya, “Tidak wajib.”

Barangsiapa sengaja berbuat baik kepada mertua sama dengan berbuat baik kepada ibunya maka dia telah menyakiti hati ibunya.

Ibunya (yang telah mengandung dan merawatnya saat kecil) akan merasa sedih tatkala dia disamakan dengan mertuanya. Mertua tadi bukan termasuk silaturahmi karena tidak ada hubungan rahim.

Tetapi kita (suami) berbuat baik kepada mertua karena dia dekat dengan istri kita. Kita (suami) membantu istri berbuat baik kepada ibunya karena istri kita akan mendapatkan pahala silaturahmi.

Tetapi dari sisi kita (suami), kewajiban terhadap mertua tidak sama dengan kewajiban terhadap ibu kandung, sangat berbeda dan sangat jauh.

- Kepada Mertua bukan silaturrahim, adapun ibu adalah silaturrahim yang nomor 1.

Ini perlu di camkan, bagi pasangan suami istri agar seorang istri tidak menuntut harus sama antara ibunya dengan ibu suaminya, ini tidak boleh disamakan.

Tetapi suami yang baik adalah tetap berusaha berbuat baik kepada orangtua istrinya dengan membantu istrinya agar bersilaturahmi dengan ayah dan ibunya.

والله أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Sumber:Group WA-NDI Dirosah Islamiyah.

No comments:

Post a Comment